Wisata

Olahraga

Ekonomi

Latest Updates

Memaknai 'Indonesia Sebesar Eropa'

Rabu, Desember 17, 2025
Presiden Prabowo Subianto kerap menyamakan skala Indonesia dengan Eropa dalam berbagai argumennya, terutama ketika menjelaskan alasan membentuk kabinet besar. Pernyataan ini kembali ia sampaikan secara terbuka dalam rapat kabinet pertama pada 23 Oktober 2024, ketika menegaskan bahwa luas dan kompleksitas Indonesia setara dengan Eropa Barat.

Perbandingan tersebut bukan sekadar retorika geografis. Dengan luas lebih dari lima juta kilometer persegi dan ribuan pulau, Indonesia memang menyerupai sebuah “benua mini” dengan keragaman wilayah, budaya, dan tingkat pembangunan yang sangat timpang, mirip seperti kumpulan negara-negara di Eropa.

Implikasi pertama dari cara pandang ini terlihat pada struktur kabinet. Prabowo menilai satu menteri dengan portofolio sempit tidak cukup untuk mengelola negara sebesar Indonesia. Karena itu, kabinet besar diposisikan sebagai kebutuhan administratif, bukan pemborosan politik.

Dalam kerangka berpikir ini, Indonesia diperlakukan layaknya Uni Eropa versi tunggal, di mana setiap sektor memiliki tantangan spesifik lintas wilayah. Pertanian di Papua, industri di Jawa, pertahanan di perbatasan timur, dan maritim di wilayah barat membutuhkan perhatian setara, tetapi dengan pendekatan berbeda.

Implikasi kebijakan berikutnya adalah penguatan koordinasi pusat. Berbeda dengan Eropa yang terdiri dari negara-negara berdaulat, Indonesia adalah negara kesatuan. Maka, kabinet besar di bawah Prabowo justru diarahkan untuk memperkuat kendali pusat agar kebijakan nasional tidak terfragmentasi.

Pandangan Indonesia sebagai “Eropa dalam satu negara” juga berdampak pada kebijakan infrastruktur. Prabowo melihat pembangunan jalan, pelabuhan, dan bandara bukan sekadar proyek ekonomi, tetapi alat pemersatu wilayah, sebagaimana jaringan transportasi lintas negara di Eropa.

Dalam sektor pertahanan, analogi Eropa memberi justifikasi bagi modernisasi militer yang masif. Indonesia, seperti Eropa, berada di lingkungan geopolitik yang kompleks. Perbatasan laut yang panjang dan posisi strategis menuntut struktur pertahanan berlapis, yang menurut Prabowo tidak bisa ditangani oleh birokrasi kecil.

Implikasi lain tampak pada kebijakan pangan dan energi. Prabowo memandang Indonesia seperti Eropa yang terdiri dari “zona-zona produksi” berbeda. Oleh karena itu, swasembada pangan dan energi diposisikan sebagai proyek nasional lintas kementerian, bukan tanggung jawab satu institusi saja.

Dalam urusan birokrasi, kabinet besar juga dimaksudkan untuk mempercepat eksekusi kebijakan. Prabowo berangkat dari asumsi bahwa negara seluas Indonesia membutuhkan lebih banyak “tangan pengambil keputusan” agar tidak tersendat di satu simpul birokrasi.

Namun, pendekatan ini memiliki konsekuensi politik. Kabinet besar berarti distribusi kekuasaan yang lebih luas, sekaligus potensi tumpang tindih kewenangan. Prabowo tampaknya menyadari risiko ini, tetapi memilih mengelolanya melalui komando langsung dari presiden.

Perbandingan dengan Eropa juga memengaruhi cara Prabowo melihat kesenjangan wilayah. Ia menilai ketimpangan Jawa–luar Jawa serupa dengan perbedaan Eropa Barat dan Timur. Implikasinya, kebijakan afirmatif untuk daerah tertinggal dipandang sebagai keharusan struktural, bukan belas kasihan politik.

Dalam konteks kebencanaan, analogi ini semakin relevan. Indonesia menghadapi risiko alam di banyak “zona”, seperti negara-negara Eropa yang menghadapi banjir, gempa, dan krisis iklim di wilayah berbeda. Kabinet besar memungkinkan pembagian fokus penanganan yang lebih spesifik.

Pendekatan ini juga berdampak pada hubungan pusat dan daerah. Prabowo cenderung melihat kepala daerah seperti “pemimpin regional” di Eropa yang perlu diarahkan secara strategis oleh pusat, bukan dibiarkan berjalan sendiri-sendiri.

Di bidang ekonomi, kabinet besar memberi ruang bagi segmentasi kebijakan. Industri hilirisasi, UMKM, ekonomi digital, dan investasi asing ditangani oleh kementerian dengan fokus khusus, mencerminkan kompleksitas ekonomi ala Eropa.

Namun, kritik muncul dari pihak yang menilai perbandingan ini berlebihan. Mereka berpendapat bahwa Eropa memiliki sistem federal dan sumber daya manusia birokrasi yang lebih matang, sementara Indonesia masih berjuang dengan efisiensi aparatur.

Meski demikian, Prabowo tampaknya menjadikan analogi Eropa sebagai alat legitimasi politik. Dengan menyamakan Indonesia dengan kawasan maju, ia membangun narasi bahwa negara ini pantas dikelola dengan skala kebijakan besar dan ambisius.

Implikasi lainnya adalah pada gaya kepemimpinan. Kabinet besar menuntut presiden yang dominan dan tegas. Pernyataan Prabowo bahwa pejabat yang tidak mampu dan tidak setia akan dicopot menunjukkan kesadaran akan risiko lemahnya koordinasi.

Dalam diplomasi, pandangan Indonesia sebagai “Eropa Asia Tenggara” mendorong kebijakan luar negeri yang lebih percaya diri. Indonesia diposisikan bukan sekadar negara berkembang, tetapi kekuatan regional dengan bobot strategis setara kawasan besar dunia.

Ke depan, keberhasilan pendekatan ini sangat bergantung pada efektivitas manajemen. Jika kabinet besar mampu bekerja sinkron, analogi Eropa akan terlihat relevan. Jika tidak, justru akan memperkuat kritik tentang inefisiensi pemerintahan.

Pada akhirnya, pernyataan Prabowo bahwa Indonesia luas seperti Eropa Barat mencerminkan cara pandangnya terhadap negara. Implikasi kebijakannya jelas: pemerintahan harus besar, kuat, dan terkoordinasi, karena tantangan yang dihadapi Indonesia tidak kalah kompleks dari sebuah benua.

Dibuat oleh AI, Baca selanjutnya

Ketika Suriah Dihina dengan Wacana Normalisasi dengan Israel yang Sedang Menduduki Golan

Rabu, September 24, 2025
Pertanyaan mengenai kemungkinan normalisasi antara Suriah dan Israel kembali muncul dalam sejumlah forum diplomasi. Namun bagi Damaskus, wacana tersebut bukan hanya tidak relevan, melainkan juga dianggap sebagai penghinaan terhadap realitas yang sedang berlangsung di lapangan. Bagaimana mungkin membicarakan rekonsiliasi ketika tanah Suriah masih diduduki secara ilegal?

Bagi Suriah, menyinggung normalisasi dengan Israel saat pasukan negara itu masih bercokol di Quneitra dan Dataran Tinggi Golan ibarat melukai korban dua kali. Analogi: bertanya tentang normalisasi sama seperti bertanya kepada seorang korban pemerkosaan apakah ia siap berdamai dengan pelaku, padahal tindakan kejahatan itu belum berhenti.

Situasi di Golan yang terus dikuasai Israel sejak 1967 menjadi inti permasalahan. Suriah menegaskan, selama wilayah tersebut tidak dikembalikan, pembicaraan mengenai normalisasi hanyalah sebuah banalitas politik yang tidak memiliki makna substantif. Normalisasi hanya bisa dibicarakan ketika pendudukan telah berakhir sepenuhnya.

Dalam wawancara dengan media Arab baru-baru ini, Presiden Ahmed Al Sharaa menyatakan bahwa perbandingan Suriah dengan negara-negara yang telah menandatangani Abraham Accords tidaklah tepat. Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko bukanlah tetangga langsung Israel. Suriah, sebaliknya, telah berkali-kali menjadi korban agresi militer Israel dari wilayah Golan.

Lebih dari seribu kali serangan udara, infiltrasi, dan pelanggaran kedaulatan telah dilakukan Israel terhadap Suriah. Fakta itu membuat Suriah, sebagai korban terorisme negara oleh Israel, memandang segala wacana normalisasi sebagai manuver politik yang tidak menyentuh akar persoalan, yakni pendudukan dan agresi yang berkelanjutan.

Kepercayaan kepada Israel, menurut Damaskus, nyaris mustahil. Israel berulang kali melanggar kesepakatan damai bahkan dengan Mesir dan Yordania yang telah menandatangani perjanjian resmi. Bagaimana Suriah dapat diyakinkan, jika rekam jejak Israel penuh dengan pelanggaran?

Suriah menegaskan, akar konflik bukan pada kurangnya komunikasi diplomatik, melainkan pada pendudukan tanah yang sah milik Suriah. Selama Israel enggan melepaskan Golan, setiap pembicaraan akan dianggap menutup mata terhadap kenyataan penindasan yang dialami rakyat Suriah.

Normalisasi, dalam perspektif Suriah, hanya mungkin terjadi jika Israel menarik diri dari setiap jengkal wilayah Suriah yang didudukinya. Setelah itu, persoalan keamanan regional bisa dibicarakan. Namun bahkan dalam tahap itu, Suriah tetap mempertanyakan apakah Israel benar-benar peduli pada keamanan, atau justru menjadikan dalih keamanan sebagai alat ekspansi.

Pertanyaan yang diajukan Damaskus sangat mendasar: apakah Israel sungguh-sungguh mencari stabilitas, atau hanya melanjutkan proyek neokolonialisme Greater Israel untuk perluasan wilayah dengan cara mengabaikan hukum internasional? Selama jawaban atas pertanyaan itu belum jelas, Suriah merasa tidak ada gunanya membuka wacana normalisasi.

Bagi rakyat Suriah, setiap serangan udara Israel bukan sekadar tindakan militer, melainkan penghinaan terhadap kedaulatan nasional. Pertanyaan mengenai normalisasi di tengah kondisi ini dianggap menutup mata pada penderitaan warga sipil yang masih menjadi korban bombardir.

Sikap tegas Suriah bukan sekadar retorika politik, melainkan cermin dari pengalaman pahit yang panjang. Negara itu telah menanggung kehancuran akibat perang lebih dari satu dekade, diperparah oleh agresi eksternal, termasuk dari Israel. Dalam situasi demikian, berbicara tentang rekonsiliasi tanpa menghapus akar persoalan sama saja dengan ilusi.

Banyak kalangan di Damaskus melihat bahwa dorongan kepada Suriah untuk menormalisasi hubungan hanyalah upaya Israel mencari legitimasi regional. Namun legitimasi semacam itu tidak bisa dibangun di atas fondasi pendudukan. Tanpa keadilan, setiap kesepakatan hanyalah kertas kosong.

Pemerintah Suriah menegaskan bahwa keberadaan pasukan Israel di Golan adalah pelanggaran terang-terangan terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB. Resolusi 497 dengan jelas menyatakan bahwa aneksasi Golan oleh Israel tidak sah. Mengabaikan hal ini dalam percakapan diplomatik berarti mengkhianati hukum internasional.

Damaskus juga mengingatkan bahwa isu Palestina tidak bisa dilepaskan dari persoalan ini. Suriah melihat perjuangan Palestina dan pembebasan Golan sebagai dua sisi mata uang yang sama: keduanya adalah simbol perlawanan terhadap pendudukan Israel.

Ketika negara-negara lain memilih jalur Abraham Accords, Suriah justru menegaskan identitasnya sebagai negara korban terorisme Israel yang tak mudah menyerah. Dalam pandangan Damaskus, jalur itu boleh jadi sesuai bagi pihak yang tidak merasakan agresi langsung. Namun bagi Suriah, yang tanahnya masih diinjak pasukan asing, hal itu sulit diterima. Itu ibarat menganggap perlawanan AS kepada serangan Jepang tidak sah dan tidak seharusnya dilakukan tapi sebaiknya normalisasi. Yang ada justru AS menyerang Tokyo.

Sementara itu, suara-suara dari masyarakat Suriah juga sejalan dengan sikap pemerintah. Banyak warga menganggap wacana normalisasi sebagai upaya melemahkan kedaulatan Suriah dan melupakan penderitaan rakyat di Golan. Mereka menolak segala bentuk rekonsiliasi yang tidak berpijak pada keadilan.

Di tengah tekanan internasional, Suriah menegaskan bahwa martabat nasional lebih penting daripada keuntungan politik jangka pendek. Normalisasi tanpa pengembalian tanah hanyalah sandiwara diplomatik yang tidak akan diterima rakyat.

Sikap ini membuat Suriah berbeda dari negara lain di kawasan. Damaskus memilih berdiri pada prinsip, meski konsekuensinya adalah dibenci oleh negara pendukung genosida dan pembantaian Israel di kawasan. Namun bagi Suriah, mempertahankan kedaulatan adalah prioritas yang tidak bisa ditukar dengan hubungan normal semu.

Dengan demikian, pertanyaan tentang normalisasi bukan hanya tidak nyambung dengan kenyataan di lapangan, melainkan juga bentuk tekanan politik yang menyinggung rasa keadilan. Selama Golan dan Quneitra masih berada di bawah pendudukan, Suriah menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk kompromi.

Kesimpulannya, normalisasi Israel-Suriah saat ini bukan hanya mustahil, tetapi juga penghinaan terhadap penderitaan rakyat Suriah. Hanya setelah tanah Suriah dikembalikan, barulah pintu pembicaraan dapat terbuka. Sebelum itu terjadi, isu normalisasi tidak lebih dari sebuah ironi politik.

Konflik Myanmar Berulang, Perdamaian Permanen Terus Diupayakan

Kamis, Juni 26, 2025

Krisis politik dan konflik bersenjata di Myanmar kembali menunjukkan betapa rentannya negara itu terhadap siklus kekerasan yang berulang. Sejak merdeka pada 1948, Myanmar tidak pernah benar-benar terbebas dari konflik etnis dan ketegangan politik internal. Setiap usaha damai yang dibangun, dari perjanjian bilateral, multilateral hingga Nationwide Ceasefire Agreement (NCA) tahun 2015, selalu gagal mencapai penyelesaian jangka panjang.

Memasuki tahun 2025, kondisi Myanmar pasca kudeta militer 2021 semakin memperburuk situasi. Di tengah janji-janji NCA yang dulu digadang sebagai awal baru, kenyataan di lapangan justru menunjukkan eskalasi kekerasan. Pada peringatan kedelapan NCA Oktober 2023 lalu, militer Myanmar justru melakukan serangan udara ke kamp pengungsi Kachin, menewaskan puluhan warga sipil termasuk anak-anak.

Konflik-konflik kecil yang tersebar di wilayah perbatasan dan utara negara itu tak kunjung reda. Di bawah kekuasaan State Administration Council (SAC) pasca kudeta, pendekatan kekerasan terus jadi pilihan utama dalam menyelesaikan perbedaan politik maupun etnis. Para kelompok bersenjata etnis (EAO) pun merespons dengan memperluas kontrol wilayah dan membentuk aliansi baru di luar skema damai lama.

Ketidakmampuan proses damai di Myanmar terjadi karena kegagalan mengatasi persoalan mendasar: ketimpangan politik, ketidaksetaraan etnis, dan dominasi militer. NCA, yang awalnya disebut sebagai tonggak sejarah perdamaian, sejak awal tidak inklusif. Banyak kelompok bersenjata yang menolak bergabung karena curiga NCA hanyalah alat militer untuk memperpanjang kendali politiknya.

Di balik panggung perundingan, militer Myanmar tetap memobilisasi pasukan, membangun basis baru, dan terus melakukan operasi militer ke wilayah-wilayah etnis. Akibatnya, kepercayaan antar pihak yang bertikai tak pernah benar-benar tumbuh. Alih-alih mengarah pada rekonsiliasi nasional, NCA lebih sering jadi alat propaganda politik dalam dan luar negeri.

Peran komunitas internasional pun dinilai lemah dan tak konsisten. Meski berbagai negara dan organisasi internasional pernah mendukung proses damai, respons terhadap pelanggaran kemanusiaan yang terus terjadi berjalan setengah hati. Banyak keputusan diambil berdasarkan kepentingan geopolitik ketimbang situasi kemanusiaan di lapangan.

Kudeta militer 2021 menjadi pukulan telak terhadap proses damai yang sudah rapuh. Seluruh pencapaian sejak 2011 kembali ke titik nol. Aung San Suu Kyi dan pemimpin sipil dipenjara, sementara demonstrasi rakyat dibungkam secara brutal. Dalam kekacauan itu, pertempuran meluas dan krisis kemanusiaan kian parah.

Konflik kali ini diprediksi akan bertahan jauh lebih lama dibanding siklus sebelumnya. Tidak ada proses dialog formal, peta jalan politik, atau mediator kuat yang mampu mempertemukan pihak bertikai. Beberapa analis memperkirakan, tanpa perubahan drastis, konflik bisa bertahan minimal hingga lima tahun ke depan.

Harapan tetap ada dari generasi muda Myanmar yang sejak kudeta aktif mempelopori perlawanan sipil dan bersatu lintas etnis. Momentum ini bisa jadi modal sosial penting bagi masa depan Myanmar, jika bisa dikapitalisasi menjadi kekuatan politik yang memperjuangkan sistem federal yang setara.

Banyak pelajaran penting dari kegagalan damai Myanmar. Pertama, proses damai tak bisa hanya berorientasi prosedur dan seremoni. Substansi politik soal pembagian kekuasaan, hak minoritas, dan otonomi daerah harus jadi prioritas utama. Kedua, kekuatan militer tak bisa dibiarkan jadi wasit sekaligus pemain utama.

Selain itu, inklusivitas menjadi kunci. Tidak boleh ada kelompok etnis atau aktor politik yang dikesampingkan. Selama politik eksklusif berbasis etnis Bamar dan militerisme dipertahankan, konflik akan terus berulang dalam bentuk yang lebih kompleks.

Perlu juga adanya jaminan akuntabilitas. Semua pelanggaran HAM, baik oleh militer maupun kelompok bersenjata, harus diusut dan pelakunya diadili. Tanpa keadilan, perdamaian hanya akan jadi ilusi sesaat.

Komunitas internasional perlu belajar dari kegagalan mereka. Bukan sekadar menyalurkan bantuan kemanusiaan, tapi mendorong inisiatif dialog yang setara, realistis, dan terbuka. Keterlibatan negara-negara regional seperti Indonesia, Thailand, dan India sangat penting, karena posisi geografis dan pengaruhnya di kawasan.

Salah satu opsi yang diusulkan pengamat adalah membangun platform perundingan baru yang lepas dari skema NCA, dengan pola federal demokratik yang sungguh-sungguh. Semua pihak, termasuk kelompok sipil, pemuda, dan diaspora harus punya ruang menentukan nasib bangsa.

Meski situasi kini suram, sejarah negara-negara pasca-konflik menunjukkan bahwa transformasi bisa terjadi saat elite politik mulai kehilangan legitimasi dan rakyat menemukan cara baru untuk bersatu. Myanmar saat ini sedang menuju ke arah itu.

Konflik Myanmar bukan sekadar soal senjata, tapi soal siapa yang punya hak menentukan arah bangsa. Selama persoalan ini tak diselesaikan, kekerasan akan terus jadi alat komunikasi politik di negeri itu.

Kini tantangan terbesar Myanmar adalah mengakhiri politik pengecualian dan membangun sistem negara yang mencerminkan keberagaman etnis, agama, dan ideologi rakyatnya. Tanpa itu, rekonsiliasi hanya akan jadi mitos di negeri yang terluka ini.

"Califato Americano": Antiguo Misterio Islámico, Lectura Esencial para Trump

Rabu, April 16, 2025
William Doonan, arqueólogo y escritor de misterio, nos lleva a un viaje que invita a la reflexión a través de su libro, "Califato Americano". Más que una simple ficción, el libro profundiza en la intrigante posibilidad de antiguas huellas islámicas en las Américas, una narrativa que desafía las visiones históricas convencionales. En el contexto de la política actual de los Estados Unidos, particularmente durante la administración de Donald Trump, este libro adquiere una relevancia significativa, ofreciendo perspectivas alternativas que podrían enriquecer la comprensión de la historia e identidad de la nación.

La experiencia de Doonan como arqueólogo, con amplia experiencia en la excavación de civilizaciones mayas y centroamericanas, proporciona una base sólida para la exploración de este tema controvertido. Su trabajo de campo le ha dado una aguda sensibilidad a las narrativas históricas que pueden haber sido pasadas por alto o deliberadamente ocultadas. "Califato Americano" no solo presenta una cautivadora historia de ficción, sino que también despierta la curiosidad sobre las posibles posibilidades históricas que aún no se han explorado por completo.


El libro imagina un secreto centenario escondido bajo las arenas de Perú, y un gobierno de Oriente Medio decidido a asegurar que este secreto permanezca enterrado. Esta premisa abre vías para la especulación sobre posibles contactos o migraciones transoceánicas mucho antes de la llegada de Colón a las Américas.

Dentro del contexto de la administración Trump, que a menudo enfatizó una narrativa histórica estrecha y exclusiva, "Califato Americano" ofrece una perspectiva contrastante y desafiante.

La idea de un "Califato Americano" en el contexto antiguo puede parecer poco convencional, pero Doonan usa el término metafóricamente para describir una comunidad o civilización en las Américas que pudo haber poseído características o influencias islámicas en un cierto punto de la historia. Sirve como un experimento de pensamiento, invitando a los lectores a considerar posibilidades inesperadas y a abrirse a diferentes interpretaciones de la historia.

En una era donde las narrativas históricas a menudo se politizan y se utilizan para justificar agendas específicas, "Califato Americano" sirve como un recordatorio de la importancia de un enfoque crítico y de mente abierta hacia la historia. El libro nos anima a reexaminar las suposiciones existentes y a buscar una comprensión más completa del pasado.

Para la administración Trump, que a menudo enfatizó una identidad nacional homogénea y rechazó narrativas históricas complejas, "Califato Americano" podría ser una lectura esencial. El libro ofrece perspectivas alternativas sobre la historia estadounidense que podrían no alinearse con los puntos de vista dominantes, pero es precisamente por esta razón que tiene un valor significativo.

"Califato Americano" no es solo una novela de misterio; también es un llamado a la vigilancia contra el extremismo en todas sus formas, ya sea por motivos religiosos o ideológicos. El libro nos recuerda que las ideologías radicales pueden propagarse y ganar influencia si no se abordan de manera seria y exhaustiva.

En el contexto de la administración Trump, que a menudo fue acusada de alimentar la polarización y las tensiones sociales, este mensaje resuena profundamente. El libro nos anima a ser más vigilantes y proactivos en la defensa de los valores de tolerancia y pluralismo que forman la base de la nación estadounidense.

"Califato Americano" también destaca la importancia de la educación precisa y la comprensión de la historia y los principios fundacionales de los Estados Unidos. Una comprensión sólida de los valores del secularismo, la libertad religiosa y la democracia puede servir como un baluarte eficaz contra las ideologías extremistas que amenazan el tejido de la nación.

En una era donde la desinformación y las narrativas falsas a menudo se propagan rápidamente, "Califato Americano" nos recuerda la importancia de la alfabetización histórica y la capacidad de distinguir entre hechos y ficción. El libro nos anima a ser lectores críticos y a buscar fuentes de información creíbles.

Para la administración Trump, que fue acusada con frecuencia de difundir desinformación y manipular narrativas históricas, este mensaje es particularmente pertinente. El libro fomenta una mayor apreciación de la importancia de la verdad y la precisión en la comprensión del pasado.

"Califato Americano" es una obra provocativa y desafiante que enciende con éxito discusiones importantes sobre temas cruciales dentro de la sociedad estadounidense contemporánea.

Independientemente de las opiniones personales del lector sobre la premisa del libro, "Califato Americano" es una lectura y contemplación que vale la pena, y sirve como una contribución a una discusión más amplia sobre el futuro de los Estados Unidos y el mundo.

El libro insta a los lectores a no dar por sentada la democracia y la libertad religiosa, sino a considerarlas valores que deben ser continuamente luchados y defendidos contra diversas amenazas, tanto internas como externas.

En última instancia, "Califato Americano" es un llamado a la vigilancia, la reflexión y el diálogo constructivo sobre la dirección futura de los Estados Unidos al navegar por las complejidades de la relación entre religión, política y sociedad. El libro desafía las suposiciones existentes y abre espacio para un pensamiento más crítico y profundo sobre los temas que dan forma a la identidad y el futuro de la nación.

Partai Ummat Yakin Lolos Jadi Peserta Pemilu 2024 setelah Gugatan di Bawaslu

Kamis, Desember 15, 2022
Partai Ummat dinyatakan tidak lolos verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2024 dalam rapat pleno terbuka Komisi Pemilihan Umum RI (KPU), Rabu (14/12/2022).


Tidak lolosnya Partai Ummat itu didasari karena partai besutan Amien Rais itu dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) di dua Provinsi yakni Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara.


Menyikapi hasil itu, Ketua Majelis Syura Partai Ummat Amien Rais menyatakan, pihaknya akan melakukan gugatan terhadap KPU ke Bawaslu.

SMK Muhammadiyah Terus Kembangkan Mobil Listrik

Senin, Desember 12, 2022
Mobil daya listrik karya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Muhammadiyah Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: Kemdikbudristek


Kesuksesan pemerintah Indonesia dalam Presidensi KTT G20 membawa tiga isu prioritas, yaitu infrastruktur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi. Isu mengenai transisi energi ini sangat relevan karena tantangan dunia menghadapi dampak krisis iklim. Apalagi, Pemerintah Indonesia saat ini menargetkan pengurangan 41 persen jejak karbon pada 2030, dan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

 
Dok Panitia Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah
Presiden Jokowi menaiki mobil listrik pada pembukaan Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah, Sabtu (19/11/2022).



Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dalam berbagai kesempatan senantiasa konsisten menyuarakan tentang pentingnya pendidikan untuk dapat menjawab tantangan krisis iklim.

“Untuk menghadapi tantangan dunia terbesar saat ini, yaitu perubahan iklim, kita memerlukan gotong royong dari para ilmuwan, insinyur, aktivis, dan masih banyak pihak untuk bersama bergerak menjemput bola dan mencari solusi dengan cepat,” ujar Nadiem dalam keterangannya, Rabu (7/12/2022).

Liga Futsal SIG Suriah, Cari Talenta dari Kamp Pengungsi

Jumat, November 25, 2022
Liga Futsal Perdamaian untuk junior diselesaikan di negara bagian Kahramanmaraş, yang diadakan di bawah naungan Otoritas Olahraga dan Pemuda Pemerintah Sementara Suriah (SIG) yang berada dalam kendali oposisi SNC/SOC.

Penutupan liga perdamaian, pertandingan final, dan penobatan tim dihadiri oleh kepala Otoritas Olahraga dan Pemuda Pemerintah Sementara Suriah, Ahmed Al-Khatib, sekretaris Shaker Al-Hamidi dan anggota Komite Teknis Sepak Bola di negara bagian Kahramanmaraş.


Pertandingan terakhir di turnamen tersebut diakhiri dengan kemenangan tim Al-Jabal atas tim Falcons dengan selisih tujuh gol berbanding empat, dan pertandingan tersebut dibedakan dari level teknis dan permainan yang adil.

Di akhir turnamen, kepala Otoritas Olahraga dan Pemuda berterima kasih kepada Komite Teknis Sepak Bola di Kahramanmaraş atas organisasi dan manajemen yang baik, dan kepada semua tim yang berpartisipasi dalam turnamen, semoga mereka sukses dan sukses terus .

Turnamen futsal menjadi adalah satu wadah bagi SIG untuk mencari talenta tersembunyi di berbagai kamp pengungsu di Suriah. Sekitar 80 persen penduduk SIG merupakan penghuni kamp pengungsi yang datang dari seantero Suriah akibat konflik.

Meski liga olahraga di wilayah SIG tidak masuk dalam naungan FIFA namun pemain sepakbola di daerah ini tetap semangat untuk berlatih karena mereka masih memiliki kesempatan untuk bermain di klub luar negeri seperti Turki dan beberapa negara Arab.

Tradisi Membunuh Anggota di Grup Wagner Rusia Pakai Palu Sangat Brutal

Senin, November 14, 2022
Berbagai laporan menyebutkan bahwa Grup Wagner Rusia mempunyai tradisi untuk membunuh anggota yang berkhianat dengan palu.

Baca: Jokowi Bangga 17 Kepala Negara Hadiri KTT G20

Kejadian ini berulang di Ukraina setelah sebelumnya di Suriah.


Grup Wagner adalah tentara bayaran Rusia meniru gaya perusahaan industri serupa di AS, Israel, Jerman, Prancis dan Inggris.

Selamat, Muhammadiyah Berhasil Dirikan Universitas di Malaysia

Jumat, Agustus 13, 2021

Di tengah kondisi pandemi COVID-19, Muhammadiyah berhasil memperluas sayap pendidikan sampai ke negeri jiran, Malaysia. Pada 5 Agustus 2021 lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah berhasil memperoleh izin resmi pendirian Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM) dari Pemerintah Malaysia melalui Jabatan Pendidikan Tinggi pada Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, menyatakan UMAM adalah tonggak baru pendirian perguruan tinggi pertama Indonesia di luar negeri. UMAM menurut Haedar merupakan milestone, ma'alimu fi thariq, sebagai perluasan gerakan pencerdasan bangsa.

Haedar menyebut, UMAM adalah tonggak peran aktif Muhammadiyah dalam pendidikan global yang dimulai dari kawasan negara serumpun di ASEAN. Ke depan UMAM diharapkan bisa memainkan peran strategis untuk mewujudkan kemajuan dan persatuan antar bangsa, sehingga terbangun kehidupan bersama yang mencerahkan di bawah panji Islam Berkemajuan.

Ulama Sunni dan Syiah Irak Kembali Berembug Digagas WML yang Berpusat di Arab Saudi

Sabtu, Agustus 07, 2021
Sebuah LSM WML kembali menggagas pertemuan Ulama Sunni dan Syiah untuk mencari berbagai jalan damai yang melibatkan masyarakat Islam Sunni dan Syiah.

Pertemuan digagas di Mekkah untuk ulama Irak yang tetap mempunyai peran penting dalam peradaban Islam. (Lihat video)

LSM yang berpusat di Arab Saudi ini mengedepankan toleransi dan persatuan ummat.

Simpati Pimpinan Pusat 'Aisyiyah untuk Bela Palestina

Rabu, Mei 19, 2021
Pimpinan Pusat 'Aisyiyah turut berduka atas penembakan yang terjadi di Masjid Al-Aqsa, Palestina. Doa kita semua untuk saudara-saudara kita di Palestina. 

#Aisyiyah #Palestina #Muhammadiyah https://t.co/XJX3o8ttBT

Keren, Mahasiswa Muhammadiyah Borong 119 Medali KSI 2021

Senin, Maret 01, 2021
Prestasi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) meningkat. Tahun ini Umsida berhasil meraih 119 medali pada Kompetisi Sains Indonesia (KSI) 2021 tingkat mahasiswa se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Pelatihan Olimpiade Sains Indonesia (POSI). Kompetisi yang diikuti oleh puluhan ribu peserta dari perguruan tinggi negeri dan swasta se-Indonesia tersebut dilaksanakan serentak secara online, Ahad (14/02).

Umsida berhasil membawa pulang 119 medali dengan 8 medali emas, 28 medali perak, dan 83 medali perunggu. Kepala Seksi Kemahasiswaan Umsida Syahrul Ardiansyah mengungkapkan prestasi yang diraih mahasiswa Umsida tahun ini mengalami peningkatan.

Ketum Muhammadiyah: NU Dicintai Ummat

Minggu, Januari 31, 2021
Nahdlatul Ulama (NU) hari ini genap berusia 95 tahun. Sejumlah elemen menyampaikan selamat atas hari lahir (harlah) NU, termasuk dari Ketua Umum Pimpinan Muhammadiyah Haedar Nashir.

“Selamat Harlah Nahdlatul Ulama ke-95,” kata Haedar, dalam keterangan persnya Minggu (31/1/2021). 

Haedar mengatakan,  NU bersama seluruh kekuatan bangsa lebih khusus organisasi Islam yang telah lahir lebih dahulu seperti Serikat Islam, Muhamamdiyah, Al Irsyad, Persatuan Islam dan lainnya telah berkhidmat untuk kemajuan dan merekat ukhuwah islamiyah. Dalam perjalanan NU bersama Muhammadiyah dan kekuatan nasional lainnya telah berjuang untuk kebangkitan kemerdekaan dan membangun Indonesia. 

“Dalam rentan 95 tahun NU telah diakui kehadiran, peran dan kontribusinya untuk merekatkan Indonesia sebagai negara kesatuan sekaligus juga membangun dan memajukan bangsa dan masa depan Indonesia,” katanya.

Sekjen PP Muhammadiyah: HRS Urusan Polisi

Jumat, Desember 11, 2020
Habib Rizieq Shihab bersama dengan sejumlah petinggi Front Pembela Islam (FPI) ditetapkan tersangka oleh polisi dalam kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengimbau seluruh masyarakat menyikapi kasus yang ditangani polisi ini secara wajar.

"Adalah wewenang polisi untuk melakukan proses penyelidikan dan penyidikan seseorang yang diduga melanggar hukum. Demikian halnya dengan kasus HRS. Masyarakat hendaknya menyikapi rencana polisi dengan wajar," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti kepada wartawan, Kamis (10/12/2020).

 
Copyright © Keluarga Muhammadiyah Pendukung Partai Bulan Bintang. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates