Presiden Prabowo Subianto kerap menyamakan skala Indonesia dengan Eropa dalam berbagai argumennya, terutama ketika menjelaskan alasan membentuk kabinet besar. Pernyataan ini kembali ia sampaikan secara terbuka dalam rapat kabinet pertama pada 23 Oktober 2024, ketika menegaskan bahwa luas dan kompleksitas Indonesia setara dengan Eropa Barat.
Perbandingan tersebut bukan sekadar retorika geografis. Dengan luas lebih dari lima juta kilometer persegi dan ribuan pulau, Indonesia memang menyerupai sebuah “benua mini” dengan keragaman wilayah, budaya, dan tingkat pembangunan yang sangat timpang, mirip seperti kumpulan negara-negara di Eropa.
Implikasi pertama dari cara pandang ini terlihat pada struktur kabinet. Prabowo menilai satu menteri dengan portofolio sempit tidak cukup untuk mengelola negara sebesar Indonesia. Karena itu, kabinet besar diposisikan sebagai kebutuhan administratif, bukan pemborosan politik.
Dalam kerangka berpikir ini, Indonesia diperlakukan layaknya Uni Eropa versi tunggal, di mana setiap sektor memiliki tantangan spesifik lintas wilayah. Pertanian di Papua, industri di Jawa, pertahanan di perbatasan timur, dan maritim di wilayah barat membutuhkan perhatian setara, tetapi dengan pendekatan berbeda.
Implikasi kebijakan berikutnya adalah penguatan koordinasi pusat. Berbeda dengan Eropa yang terdiri dari negara-negara berdaulat, Indonesia adalah negara kesatuan. Maka, kabinet besar di bawah Prabowo justru diarahkan untuk memperkuat kendali pusat agar kebijakan nasional tidak terfragmentasi.
Pandangan Indonesia sebagai “Eropa dalam satu negara” juga berdampak pada kebijakan infrastruktur. Prabowo melihat pembangunan jalan, pelabuhan, dan bandara bukan sekadar proyek ekonomi, tetapi alat pemersatu wilayah, sebagaimana jaringan transportasi lintas negara di Eropa.
Dalam sektor pertahanan, analogi Eropa memberi justifikasi bagi modernisasi militer yang masif. Indonesia, seperti Eropa, berada di lingkungan geopolitik yang kompleks. Perbatasan laut yang panjang dan posisi strategis menuntut struktur pertahanan berlapis, yang menurut Prabowo tidak bisa ditangani oleh birokrasi kecil.
Implikasi lain tampak pada kebijakan pangan dan energi. Prabowo memandang Indonesia seperti Eropa yang terdiri dari “zona-zona produksi” berbeda. Oleh karena itu, swasembada pangan dan energi diposisikan sebagai proyek nasional lintas kementerian, bukan tanggung jawab satu institusi saja.
Dalam urusan birokrasi, kabinet besar juga dimaksudkan untuk mempercepat eksekusi kebijakan. Prabowo berangkat dari asumsi bahwa negara seluas Indonesia membutuhkan lebih banyak “tangan pengambil keputusan” agar tidak tersendat di satu simpul birokrasi.
Namun, pendekatan ini memiliki konsekuensi politik. Kabinet besar berarti distribusi kekuasaan yang lebih luas, sekaligus potensi tumpang tindih kewenangan. Prabowo tampaknya menyadari risiko ini, tetapi memilih mengelolanya melalui komando langsung dari presiden.
Perbandingan dengan Eropa juga memengaruhi cara Prabowo melihat kesenjangan wilayah. Ia menilai ketimpangan Jawa–luar Jawa serupa dengan perbedaan Eropa Barat dan Timur. Implikasinya, kebijakan afirmatif untuk daerah tertinggal dipandang sebagai keharusan struktural, bukan belas kasihan politik.
Dalam konteks kebencanaan, analogi ini semakin relevan. Indonesia menghadapi risiko alam di banyak “zona”, seperti negara-negara Eropa yang menghadapi banjir, gempa, dan krisis iklim di wilayah berbeda. Kabinet besar memungkinkan pembagian fokus penanganan yang lebih spesifik.
Pendekatan ini juga berdampak pada hubungan pusat dan daerah. Prabowo cenderung melihat kepala daerah seperti “pemimpin regional” di Eropa yang perlu diarahkan secara strategis oleh pusat, bukan dibiarkan berjalan sendiri-sendiri.
Di bidang ekonomi, kabinet besar memberi ruang bagi segmentasi kebijakan. Industri hilirisasi, UMKM, ekonomi digital, dan investasi asing ditangani oleh kementerian dengan fokus khusus, mencerminkan kompleksitas ekonomi ala Eropa.
Namun, kritik muncul dari pihak yang menilai perbandingan ini berlebihan. Mereka berpendapat bahwa Eropa memiliki sistem federal dan sumber daya manusia birokrasi yang lebih matang, sementara Indonesia masih berjuang dengan efisiensi aparatur.
Meski demikian, Prabowo tampaknya menjadikan analogi Eropa sebagai alat legitimasi politik. Dengan menyamakan Indonesia dengan kawasan maju, ia membangun narasi bahwa negara ini pantas dikelola dengan skala kebijakan besar dan ambisius.
Implikasi lainnya adalah pada gaya kepemimpinan. Kabinet besar menuntut presiden yang dominan dan tegas. Pernyataan Prabowo bahwa pejabat yang tidak mampu dan tidak setia akan dicopot menunjukkan kesadaran akan risiko lemahnya koordinasi.
Dalam diplomasi, pandangan Indonesia sebagai “Eropa Asia Tenggara” mendorong kebijakan luar negeri yang lebih percaya diri. Indonesia diposisikan bukan sekadar negara berkembang, tetapi kekuatan regional dengan bobot strategis setara kawasan besar dunia.
Ke depan, keberhasilan pendekatan ini sangat bergantung pada efektivitas manajemen. Jika kabinet besar mampu bekerja sinkron, analogi Eropa akan terlihat relevan. Jika tidak, justru akan memperkuat kritik tentang inefisiensi pemerintahan.
Pada akhirnya, pernyataan Prabowo bahwa Indonesia luas seperti Eropa Barat mencerminkan cara pandangnya terhadap negara. Implikasi kebijakannya jelas: pemerintahan harus besar, kuat, dan terkoordinasi, karena tantangan yang dihadapi Indonesia tidak kalah kompleks dari sebuah benua.
Dibuat oleh AI, Baca selanjutnya

Posting Komentar