Pertanyaan mengenai kemungkinan normalisasi antara Suriah dan Israel kembali muncul dalam sejumlah forum diplomasi. Namun bagi Damaskus, wacana tersebut bukan hanya tidak relevan, melainkan juga dianggap sebagai penghinaan terhadap realitas yang sedang berlangsung di lapangan. Bagaimana mungkin membicarakan rekonsiliasi ketika tanah Suriah masih diduduki secara ilegal?
Bagi Suriah, menyinggung normalisasi dengan Israel saat pasukan negara itu masih bercokol di Quneitra dan Dataran Tinggi Golan ibarat melukai korban dua kali. Analogi: bertanya tentang normalisasi sama seperti bertanya kepada seorang korban pemerkosaan apakah ia siap berdamai dengan pelaku, padahal tindakan kejahatan itu belum berhenti.
Situasi di Golan yang terus dikuasai Israel sejak 1967 menjadi inti permasalahan. Suriah menegaskan, selama wilayah tersebut tidak dikembalikan, pembicaraan mengenai normalisasi hanyalah sebuah banalitas politik yang tidak memiliki makna substantif. Normalisasi hanya bisa dibicarakan ketika pendudukan telah berakhir sepenuhnya.
Dalam wawancara dengan media Arab baru-baru ini, Presiden Ahmed Al Sharaa menyatakan bahwa perbandingan Suriah dengan negara-negara yang telah menandatangani Abraham Accords tidaklah tepat. Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko bukanlah tetangga langsung Israel. Suriah, sebaliknya, telah berkali-kali menjadi korban agresi militer Israel dari wilayah Golan.
Lebih dari seribu kali serangan udara, infiltrasi, dan pelanggaran kedaulatan telah dilakukan Israel terhadap Suriah. Fakta itu membuat Suriah, sebagai korban terorisme negara oleh Israel, memandang segala wacana normalisasi sebagai manuver politik yang tidak menyentuh akar persoalan, yakni pendudukan dan agresi yang berkelanjutan.
Kepercayaan kepada Israel, menurut Damaskus, nyaris mustahil. Israel berulang kali melanggar kesepakatan damai bahkan dengan Mesir dan Yordania yang telah menandatangani perjanjian resmi. Bagaimana Suriah dapat diyakinkan, jika rekam jejak Israel penuh dengan pelanggaran?
Suriah menegaskan, akar konflik bukan pada kurangnya komunikasi diplomatik, melainkan pada pendudukan tanah yang sah milik Suriah. Selama Israel enggan melepaskan Golan, setiap pembicaraan akan dianggap menutup mata terhadap kenyataan penindasan yang dialami rakyat Suriah.
Normalisasi, dalam perspektif Suriah, hanya mungkin terjadi jika Israel menarik diri dari setiap jengkal wilayah Suriah yang didudukinya. Setelah itu, persoalan keamanan regional bisa dibicarakan. Namun bahkan dalam tahap itu, Suriah tetap mempertanyakan apakah Israel benar-benar peduli pada keamanan, atau justru menjadikan dalih keamanan sebagai alat ekspansi.
Pertanyaan yang diajukan Damaskus sangat mendasar: apakah Israel sungguh-sungguh mencari stabilitas, atau hanya melanjutkan proyek neokolonialisme Greater Israel untuk perluasan wilayah dengan cara mengabaikan hukum internasional? Selama jawaban atas pertanyaan itu belum jelas, Suriah merasa tidak ada gunanya membuka wacana normalisasi.
Bagi rakyat Suriah, setiap serangan udara Israel bukan sekadar tindakan militer, melainkan penghinaan terhadap kedaulatan nasional. Pertanyaan mengenai normalisasi di tengah kondisi ini dianggap menutup mata pada penderitaan warga sipil yang masih menjadi korban bombardir.
Sikap tegas Suriah bukan sekadar retorika politik, melainkan cermin dari pengalaman pahit yang panjang. Negara itu telah menanggung kehancuran akibat perang lebih dari satu dekade, diperparah oleh agresi eksternal, termasuk dari Israel. Dalam situasi demikian, berbicara tentang rekonsiliasi tanpa menghapus akar persoalan sama saja dengan ilusi.
Banyak kalangan di Damaskus melihat bahwa dorongan kepada Suriah untuk menormalisasi hubungan hanyalah upaya Israel mencari legitimasi regional. Namun legitimasi semacam itu tidak bisa dibangun di atas fondasi pendudukan. Tanpa keadilan, setiap kesepakatan hanyalah kertas kosong.
Pemerintah Suriah menegaskan bahwa keberadaan pasukan Israel di Golan adalah pelanggaran terang-terangan terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB. Resolusi 497 dengan jelas menyatakan bahwa aneksasi Golan oleh Israel tidak sah. Mengabaikan hal ini dalam percakapan diplomatik berarti mengkhianati hukum internasional.
Damaskus juga mengingatkan bahwa isu Palestina tidak bisa dilepaskan dari persoalan ini. Suriah melihat perjuangan Palestina dan pembebasan Golan sebagai dua sisi mata uang yang sama: keduanya adalah simbol perlawanan terhadap pendudukan Israel.
Ketika negara-negara lain memilih jalur Abraham Accords, Suriah justru menegaskan identitasnya sebagai negara korban terorisme Israel yang tak mudah menyerah. Dalam pandangan Damaskus, jalur itu boleh jadi sesuai bagi pihak yang tidak merasakan agresi langsung. Namun bagi Suriah, yang tanahnya masih diinjak pasukan asing, hal itu sulit diterima. Itu ibarat menganggap perlawanan AS kepada serangan Jepang tidak sah dan tidak seharusnya dilakukan tapi sebaiknya normalisasi. Yang ada justru AS menyerang Tokyo.
Sementara itu, suara-suara dari masyarakat Suriah juga sejalan dengan sikap pemerintah. Banyak warga menganggap wacana normalisasi sebagai upaya melemahkan kedaulatan Suriah dan melupakan penderitaan rakyat di Golan. Mereka menolak segala bentuk rekonsiliasi yang tidak berpijak pada keadilan.
Di tengah tekanan internasional, Suriah menegaskan bahwa martabat nasional lebih penting daripada keuntungan politik jangka pendek. Normalisasi tanpa pengembalian tanah hanyalah sandiwara diplomatik yang tidak akan diterima rakyat.
Sikap ini membuat Suriah berbeda dari negara lain di kawasan. Damaskus memilih berdiri pada prinsip, meski konsekuensinya adalah dibenci oleh negara pendukung genosida dan pembantaian Israel di kawasan. Namun bagi Suriah, mempertahankan kedaulatan adalah prioritas yang tidak bisa ditukar dengan hubungan normal semu.
Dengan demikian, pertanyaan tentang normalisasi bukan hanya tidak nyambung dengan kenyataan di lapangan, melainkan juga bentuk tekanan politik yang menyinggung rasa keadilan. Selama Golan dan Quneitra masih berada di bawah pendudukan, Suriah menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk kompromi.
Kesimpulannya, normalisasi Israel-Suriah saat ini bukan hanya mustahil, tetapi juga penghinaan terhadap penderitaan rakyat Suriah. Hanya setelah tanah Suriah dikembalikan, barulah pintu pembicaraan dapat terbuka. Sebelum itu terjadi, isu normalisasi tidak lebih dari sebuah ironi politik.
Posting Komentar