Konflik Myanmar Berulang, Perdamaian Permanen Terus Diupayakan


Krisis politik dan konflik bersenjata di Myanmar kembali menunjukkan betapa rentannya negara itu terhadap siklus kekerasan yang berulang. Sejak merdeka pada 1948, Myanmar tidak pernah benar-benar terbebas dari konflik etnis dan ketegangan politik internal. Setiap usaha damai yang dibangun, dari perjanjian bilateral, multilateral hingga Nationwide Ceasefire Agreement (NCA) tahun 2015, selalu gagal mencapai penyelesaian jangka panjang.

Memasuki tahun 2025, kondisi Myanmar pasca kudeta militer 2021 semakin memperburuk situasi. Di tengah janji-janji NCA yang dulu digadang sebagai awal baru, kenyataan di lapangan justru menunjukkan eskalasi kekerasan. Pada peringatan kedelapan NCA Oktober 2023 lalu, militer Myanmar justru melakukan serangan udara ke kamp pengungsi Kachin, menewaskan puluhan warga sipil termasuk anak-anak.

Konflik-konflik kecil yang tersebar di wilayah perbatasan dan utara negara itu tak kunjung reda. Di bawah kekuasaan State Administration Council (SAC) pasca kudeta, pendekatan kekerasan terus jadi pilihan utama dalam menyelesaikan perbedaan politik maupun etnis. Para kelompok bersenjata etnis (EAO) pun merespons dengan memperluas kontrol wilayah dan membentuk aliansi baru di luar skema damai lama.

Ketidakmampuan proses damai di Myanmar terjadi karena kegagalan mengatasi persoalan mendasar: ketimpangan politik, ketidaksetaraan etnis, dan dominasi militer. NCA, yang awalnya disebut sebagai tonggak sejarah perdamaian, sejak awal tidak inklusif. Banyak kelompok bersenjata yang menolak bergabung karena curiga NCA hanyalah alat militer untuk memperpanjang kendali politiknya.

Di balik panggung perundingan, militer Myanmar tetap memobilisasi pasukan, membangun basis baru, dan terus melakukan operasi militer ke wilayah-wilayah etnis. Akibatnya, kepercayaan antar pihak yang bertikai tak pernah benar-benar tumbuh. Alih-alih mengarah pada rekonsiliasi nasional, NCA lebih sering jadi alat propaganda politik dalam dan luar negeri.

Peran komunitas internasional pun dinilai lemah dan tak konsisten. Meski berbagai negara dan organisasi internasional pernah mendukung proses damai, respons terhadap pelanggaran kemanusiaan yang terus terjadi berjalan setengah hati. Banyak keputusan diambil berdasarkan kepentingan geopolitik ketimbang situasi kemanusiaan di lapangan.

Kudeta militer 2021 menjadi pukulan telak terhadap proses damai yang sudah rapuh. Seluruh pencapaian sejak 2011 kembali ke titik nol. Aung San Suu Kyi dan pemimpin sipil dipenjara, sementara demonstrasi rakyat dibungkam secara brutal. Dalam kekacauan itu, pertempuran meluas dan krisis kemanusiaan kian parah.

Konflik kali ini diprediksi akan bertahan jauh lebih lama dibanding siklus sebelumnya. Tidak ada proses dialog formal, peta jalan politik, atau mediator kuat yang mampu mempertemukan pihak bertikai. Beberapa analis memperkirakan, tanpa perubahan drastis, konflik bisa bertahan minimal hingga lima tahun ke depan.

Harapan tetap ada dari generasi muda Myanmar yang sejak kudeta aktif mempelopori perlawanan sipil dan bersatu lintas etnis. Momentum ini bisa jadi modal sosial penting bagi masa depan Myanmar, jika bisa dikapitalisasi menjadi kekuatan politik yang memperjuangkan sistem federal yang setara.

Banyak pelajaran penting dari kegagalan damai Myanmar. Pertama, proses damai tak bisa hanya berorientasi prosedur dan seremoni. Substansi politik soal pembagian kekuasaan, hak minoritas, dan otonomi daerah harus jadi prioritas utama. Kedua, kekuatan militer tak bisa dibiarkan jadi wasit sekaligus pemain utama.

Selain itu, inklusivitas menjadi kunci. Tidak boleh ada kelompok etnis atau aktor politik yang dikesampingkan. Selama politik eksklusif berbasis etnis Bamar dan militerisme dipertahankan, konflik akan terus berulang dalam bentuk yang lebih kompleks.

Perlu juga adanya jaminan akuntabilitas. Semua pelanggaran HAM, baik oleh militer maupun kelompok bersenjata, harus diusut dan pelakunya diadili. Tanpa keadilan, perdamaian hanya akan jadi ilusi sesaat.

Komunitas internasional perlu belajar dari kegagalan mereka. Bukan sekadar menyalurkan bantuan kemanusiaan, tapi mendorong inisiatif dialog yang setara, realistis, dan terbuka. Keterlibatan negara-negara regional seperti Indonesia, Thailand, dan India sangat penting, karena posisi geografis dan pengaruhnya di kawasan.

Salah satu opsi yang diusulkan pengamat adalah membangun platform perundingan baru yang lepas dari skema NCA, dengan pola federal demokratik yang sungguh-sungguh. Semua pihak, termasuk kelompok sipil, pemuda, dan diaspora harus punya ruang menentukan nasib bangsa.

Meski situasi kini suram, sejarah negara-negara pasca-konflik menunjukkan bahwa transformasi bisa terjadi saat elite politik mulai kehilangan legitimasi dan rakyat menemukan cara baru untuk bersatu. Myanmar saat ini sedang menuju ke arah itu.

Konflik Myanmar bukan sekadar soal senjata, tapi soal siapa yang punya hak menentukan arah bangsa. Selama persoalan ini tak diselesaikan, kekerasan akan terus jadi alat komunikasi politik di negeri itu.

Kini tantangan terbesar Myanmar adalah mengakhiri politik pengecualian dan membangun sistem negara yang mencerminkan keberagaman etnis, agama, dan ideologi rakyatnya. Tanpa itu, rekonsiliasi hanya akan jadi mitos di negeri yang terluka ini.

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © Keluarga Muhammadiyah Pendukung Partai Bulan Bintang. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates